Wednesday, June 10, 2009

Wacana Takwil

Wacana takwil merupakan salah satu kajian penting dalam ‘ulûm al-Qur’ân. Pro dan kontra tentang takwil sudah lama menjadi perdebatan di kalangan ulama tafsir. Ironisnya, wacana takwil ini lebih banyak terpaparkan hanya dalam bentuk repetisi dari paparan yang telah mengklasik, tanpa mencoba menemukan sebuah perspektif yang lain tentang takwil. Kalau saja takwil bisa dikembangkan ke arah pemaknaan baru ayat-ayat dengan konteks masyarakat modern atau masyarakat lokal tertentu, maka mungkin akan menawarkan perspektif baru dalam menjadikan al-Qur’ân sebagai pemandu umat di dunia modern ini.



Tulisan ini mencoba menyoroti wacana takwil dengan mengomparasi dua aliran atau sekte, yaitu Sufi dan Syiah. Keduanya dipandang perlu untuk diperbandingkan agar dipahami dengan jelas pangkal dan titik temu keduanya dalam memandang takwil sebagai satu cara atau metode dalam memaknai ayat al-Qur’ân. Pemilihan topik ini bukan saja untuk memahami perbedaan dan persamaan kedua kelompok ini tentang peran dan posisi takwil, melainkan juga tampak ada usaha yang cukup kreatif kedua kelompok ini dalam melayani kegelisahan keagamaan umatnya dengan mengembangkan pemaknaan takwil. Pemaknaan dan konstruksi takwil kedua kelompok ini memiliki kemiripan dengan lahirnya metodologi hermeneutika dalam konteks pemaknaan Bibel.



Untuk mencapai sasaran tersebut, tulisan ini diarahkan untuk mengurai tiga poin penting yang akan menjadi bahan perbandingan. Pertama, otoritas penakwilan; Kedua, kriteria ayat yang ditakwilkan; Ketiga, pendekatan yang digunakan dalam penakwilan. Paling tidak, ketiga poin tersebut dapat memberi gambaran tentang wacana takwil dalam kedua aliran tersebut.



Konsep Takwil

Mendahului uraian perbandingan tentang takwil di kalangan Sufi dan Syiah, paparan tentang konsep takwil penting untuk dikemukakan untuk memberi batasan jelas tentang takwil itu sendiri. Secara etimologis, kata ta’wîl adalah mashdar dalam bentuk taf‘îl. Terkait dengan asal katanya, terdapat kontroversi di kalangan ahli bahasa. Ibn Manzhûr dalam Lisân al-‘Arab mendefinisikannya sebagai bentuk taf‘îl dari kata ’awwala-yu’awwilu-ta’wîlan, yang bentuk tsulâtsî-nya adalah âla-ya’ûlu yang berarti raja‘a dan ‘âda.[1] Sementara itu, al-Zarkasyî memaparkan tiga asal kata dari ta’wîl, yaitu: dari kata al-awl yang berarti al-rujû‘ (kembali), dari kata al-ma’âl (tempat kembali) yang berarti al-‘âqibah (tujuan akhir), dan al-mashîr (tempat kembali), dari kata al-iyâlah yang berarti al-siyâsah (siasat) dan al-tadbîr (pengaturan).[2]



Jika dilihat dari segi penggunaannya, kata ta’wîl dalam al-Qur'ân terdapat tiga bentuk penggunaan. Pertama, menakwilkan yang mutasyâbih (ta’wîl al-mutasyâbih), yaitu mengarahkannya dengan yang diterima oleh argumentasi rasio dan tekstual. Hal ini mewujud dalam dua bentuk, yaitu: dalam perkataan sebagaimana Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 7; atau dalam perbuatan sebagaimana dalam Q.S. al-Kahf [18]: 78 & 82. Kedua, menakbirkan mimpi (ta‘bîr al-ru’yâ) sebagaimana tersebut delapan kali dalam Q.S. Yûsuf [12]: 6, 21, 36, 37, 44, 45, 100, dan 101. Ketiga, akhir dari sesuatu dan akibatnya (ma’âl al-amr wa ‘âqibatuh) sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Isrâ’ [17]: 35.[3] Term ta’wîl dalam al-Qur’ân tersebut terulang sebanyak 17 kali dengan makna yang beragam: 1) tafsîr atau ta‘yîn sebagaimana tersebut dalam Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 7; 2) jazâ’, tsawâb, dan ‘âqibah sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Nisâ’ [4]: 59; 3) terjadinya peristiwa yang telah diberitakan sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-A‘râf [7]: 53; 4) hakikat yang diisyaratkan oleh sebuah mimpi sebagaimana tersebut dalam Q.S. Yûsuf [12]: 6; 5) akibat dari perbuatan yang dilakukan dan penjelasan sebab-sebabnya sebagaimana Q.S. al-Kahf [18]: 78.



Makna sebuah kata tidak dapat dilepaskan dari kualitas pengalaman, perkembangan ilmu pengetahuan ataupun tingkat sosial budaya pemakainya. Ketentuan ini juga dialami oleh term ta’wîl yang pemaknaannya juga mengalami pergeseran dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Pada periode salaf, kata ta’wîl dapat dimaknai dalam dua pengertian: 1) Tafsir atas pembicaraan atau penjelasan makna yang kemungkinan sejalan atau tidak sejalan dengan makna literalnya. Antara ta’wîl dan tafsîr tidak terjadi perbedaan. Acap kali juga terjadi penyamaan antara tafsîr, ta’wîl, dan ma‘ânî. Ketiganya dianggap sinonim karena metodenya memang serupa dan adanya kesamaan makna. Ini bisa dilihat pada penggunaan kata ta’wîl dalam tafsir al-Thabarî yang sering kali menggunakan istilah فتأويله (fa ta'wîluh). Menurutnya, kata ta’wîl sama dengan tafsîr.



Akan tetapi, sebenarnya di antara keduanya terdapat sebuah perbedaan. Perbedaannya dijelaskan oleh Abû ‘Âshî bahwa setiap bentuk ta’wîl pastilah termasuk tafsîr, tetapi belum tentu semua tafsîr adalah ta’wîl, karena ta’wîl dikhususkan untuk menjelaskan sesuatu yang membutuhkan pemikiran yang lebih mendalam.[4] Al-Râghib al-Ishfahânî (w. 502 H) juga menyatakan bahwa tafsir lebih umum daripada ta’wîl karena tafsir lebih banyak dipakai untuk menjelaskan kosakata, sedangkan ta’wîl lebih banyak digunakan untuk menerangkan makna susunan kalimat.[5] 2) Hakikat yang dimaksud dari sebuah pembicaraan. Pengertian terakhir ini berbeda dengan pengertian tafsir, karena takwil berada di luar pikiran, pembicaraan, ataupun tulisan. Ia berbentuk peristiwa di masa lampau atau masa mendatang. Kendati demikian, takwil bukanlah sebuah bentuk interpretasi alegoris yang menolak seluruh bahan linguistik dan semantik, apalagi mengesampingkan keduanya. Takwil harus disesuaikan dengan konteksnya terutama munâsabah dengan ayat sebelum dan sesudahnya, memerhatikan diktum-diktum linguistik, terlebih ketentuan al-Qur’ân dan hadis.[6] Ringkasnya, takwil bukanlah sesuatu yang tidak punya landasan tekstual sama sekali, karena takwil yang demikian adalah sebuah penyimpangan.



Pengertian seperti ini mengalami pergeseran makna pada periode selanjutnya, khususnya di kalangan fuqaha, teolog, sufi, dan filsuf yang memaknainya sebagai “pengalihan makna lafal kepada makna lain yang dikandungnya atau mengalihkan makna sebuah lafal yang kuat (râjih) kepada makna yang diunggulkan (arjah) disebabkan oleh adanya dalil yang menyertainya”.[7] Terlepas dari kontroversi pemaknaan kata ta’wîl tersebut, satu hal yang patut ditekankan bahwa sebuah penakwilan dapat diterima jika disokong oleh argumentasi yang valid, sehingga terbilang sebuah penyimpangan jika dilakukan tanpa argumentasi yang kuat.[8]



Kontroversi tentang Takwil

Perihal penakwilan al-Qur’ân, pendapat ulama dapat diklasifikasi ke dalam tiga kelompok ulama. Pertama, kelompok yang menerima takwil, yaitu ulama Syiah, Muktazilah, dan kalangan Sufi; Kedua, kelompok yang menolak takwil; dan Ketiga, kelompok yang hanya menerima sebagian bentuk takwil. Berikut ini adalah paparan ketiga kelompok ulama tersebut dalam menyikapi takwil al-Qur’ân.



Kelompok ulama pertama berargumen bahwa takwil merupakan bagian dari upaya menyelami kandungan makna al-Qur’ân dan menjadi anjuran agama Islam. Mereka mendasari argumennya dengan mengutip Q.S. Alu ‘Imrân [3]: 7:



هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ



Dia-lah yang menurunkan al-Kitâb (al-Qur’ân) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamât itulah pokok-pokok isi al-Qur’ân dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.



Mereka memaknai frasa al-râsikhûn fî al-‘ilm sebagai “kalangan yang mengetahui takwil”. Dapat dipastikan bahwa huruf wâwu dalam ayat tersebut adalah wâwu ‘athf, yang berarti “menggandengkan dengan kata sebelumnya”, bukan wâwu isti’nâf, yang berarti “memulai”.



Kalaupun Muktazilah bahkan berpendapat bahwa penakwilan ayat-ayat al-Qur’ân adalah suatu keharusan demi penerapan ajaran al-Qur’ân secara kâffah. Jika ada ayat yang sulit dipahami dengan tafsir, maka harus ditakwil. Siapa tahu ada taklif (hukum) di balik ayat-ayat itu yang tidak dapat diterapkan hanya karena tidak berani memahami kandungannya. Ini terkait dengan pertanyaan mendasar هل يجوز التكاليف إلى مالا يطاق (apakah kita bisa bertaklif terhadap suatu nash yang tak bisa dicerna?). Ulama salaf berpendapat tidak ada keharusan memahami ayat-ayat yang di luar batas kemampuan kita untuk memahaminya, meskipun di dalam ayat-ayat itu diduga terselip taklîf. Sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 286:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.



Adapun ulama kelompok kedua berargumen bahwa penakwilan al-Qur’ân mengandung potensi untuk mendistorsi makna yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan al-Qur’ân, sehingga lambat-laun akan menghilangkan sakralitas kitab suci tersebut. Di samping itu, mereka juga mendasari argumennya pada sebuah hadis Nabi saw.



فَإِذَا رَأَيْتِ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكِ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ[9]



“Jika engkau mendapati orang yang mengikuti yang samar dari al-Qur’ân, maka mereka itulah yang dimaksud oleh Allah SWT. (dalam Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 7). Untuk itu, waspadalah terhadap mereka!”



Adapun kelompok yang menerima sebagian takwil berargumen bahwa interpretasi yang berbentuk metaforis seperti ini selain bersifat abstrak dan intelektualis, juga berpotensi menjadi penghindaran dari ketentuan hukum bagi mereka yang kesadaran hukumnya lemah. Hanya saja, mereka juga menyadari bahwa dengan mengunci rapat-rapat kemungkinan takwil akan menghadapkan kaum Muslimin pada sebuah kesulitan dalam mengartikulasikan pelukisan tentang Tuhan yang antropomorfis.



Dari ketiga pandangan ulama dalam melihat takwil tersebut, kelompok Sunni dapat diposisikan pada kelompok ketiga yang bersifat moderat. Sikap kelompok Sunni dalam hal ini terkesan ambivalensi. Kendati demikian, sikap demikian mesti dimaknai sebagai sebuah tindak kehati-hatian (ihtiyâth) dalam menyeleksi takwil demi menghindari penyimpangan.



Kalangan sufi berpendapat bahwa di balik ungkapan kata-kata al-Qur’ân terdapat beberapa makna yang mendalam dan sangat halus. Hal tersebut didasari pada pandangan mereka yang meyakini bahwa hakikat al-Qur’ân tidak hanya terbatas pada pengertian yang bersifat lahiriah semata, tetapi tersirat pula makna batin (makna yang berkelindan di balik kata) yang merupakan makna penting. Menurut mereka, takwil atas ungkapan-ungkapan al-Qur’ân dan hadis Nabi saw. hanya dapat diketahui oleh para ahli hakikat, yaitu mereka yang bersungguh-sungguh mengamalkan petunjuk al-Qur’ân dan sunnah Rasul, sehingga Allah SWT. melimpahkan kepada mereka pengetahuan yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya (‘ilm kasyf). Bukan hanya makna yang berkelindan di balik teks yang dapat tersingkap oleh mereka, melainkan makna di balik huruf al-Qur’ân dapat disingkap, tergantung kadar kedekatan seseorang kepada Allah SWT.



Meskipun begitu, ada juga ulama yang mendukung penafsiran mereka dengan menyatakan bahwa penafsiran dengan makna-makna yang tidak biasa bukanlah pengingkaran terhadap makna lahiriah, melainkan mengambil pengertian dari makna yang dimaksud oleh suatu ayat menurut kelaziman bahasa. Dengan begitu, apa yang kaum sufi lakukan tidak dapat diklaim sebagai mengubah kalam ilahi.



Pengikut Ismailiyah dari kalangan Syiah menyatakan bahwa terdapat dua aspek utama dalam agama, yaitu zhâhir (eksoterik) dan bâthin (esoterik). Bentuk zhâhir ini berbeda antara satu nabi dengan nabi lain yang dipengaruhi oleh situasi zaman yang dihadapinya. Hanya saja, antara zhâhir dan bâthin tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling melengkapi dan tidak ada yang dapat eksis tanpa yang lainnya.[10] Klasifikasi demikian mengakibatkan lahirnya dua macam kategori keilmuan, yaitu zhâhiriyah yang mencakup filologi hingga fisika, atau sejarah hingga hukum, sedangkan selainnya digolongkan sebagai bâthiniyyah yang hanya dapat dinalar melalui takwil. Di sini terlihat perbedaan mendasar antara tafsir dan takwil karena yang pertama berfungsi menjelaskan dimensi eksternal dari al-Qur’ân, sedangkan takwil menjelaskan lingkup internal al-Qur’ân.[11] Kontroversi yang dipaparkan seputar takwil ini menunjukkan bahwa antara Syiah dan Sufi masing-masing menerima takwil sebagai sebuah metode dalam memaknai ayat al-Qur’ân, terutama pada dimensi batin yang terkandung dalam sebuah ayat. Keduanya termasuk dalam kelompok yang menerima takwil dan (mungkin) yang terbanyak menggunakan takwil daripada sekte lain.



Kalangan Syiah berdalil pada sebuah hadis:

مَا فِي الْقُرْآنِ آيَةٌ إِلَّا وَلَهَا ظَهْرٌ وَبَطْنٌ [12]

Tak satu ayat pun dalam al-Qur’ân kecuali memiliki makna lahir dan batin.



Oleh Abû Ja‘far al-Bâqir, maksud hadis tersebut adalah



ظَهَرَهُ تَنْزِيْلُهُ وَبَطَنَهُ تَأْوِيْلُهُ، مِنْهُ مَا قَدْ مَضَى وَمِنْهُ مَا لَمْ يَكُنْ، يَحْرِيْ كَمَا تَجْرِيْ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ[13]



“Yang tampak adalah tanzîl-nya, sedangkan yang membatin adalah ta’wîl-nya. Ada di antaranya yang sudah lewat dan ada juga yang belum, beredar sebagaimana beredarnya matahari dan bulan.”



Dalam tradisi takwil Syiah, Nabi Muhammad saw. dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan takwil atau penafsiran secara esoterik. Bahkan, sekte Ismailiyah dan Bathiniyah dari kalangan Syiah hanya mengakui makna batin saja. Bagi mereka, makna batin al-Qur’ân hanya dapat disingkap oleh Nabi saw., dan dilanjutkan oleh imam ahl al-bayt yang ma‘shûm dan seolah diklaim sebagai ahli waris spiritual kenabian Nabi Muhammad saw. Bahkan, di kalangan Syiah beranggapan bahwa semua ini dalam al-Qur’ân adalah mutasyâbihât dan dengan demikian dimungkinkan untuk ditakwil. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan ayat berikut:

وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir`aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.”





Meskipun juga terkesan jauh melenceng dari makna awal mufradat, bahkan konteks ayat. Misalnya, kata فرعون (Fir‘awn) dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 49 dipahami sebagai Yazid ibn Muawiyah, karena Yazid membunuh anak laki-laki dan membiarkan anak perempuan hidup. Yazid menyembelih Hasan dan meracuni Husain. Hal serupa juga sering ditemukan di kalangan ulama Sufi yang menerapkan takwil terhadap ayat tertentu dalam al-Qur’ân.



Otoritas Penakwilan

Terlihat dengan jelas bahwa dalam konteks kontroversi tentang takwil ini, kaum Syiah dan Sufi masing-masing menerima takwil sebagai sebuah metode dalam memaknai ayat al-Qur’ân. Nabi Muhammad saw. sama-sama diposisikan sebagai pemegang otoritas paling utama dalam penakwilan al-Qur’ân. Baik Syiah maupun Sufi sebagai kalangan yang menerima takwil mensyaratkan penakwilnya dari kalangan “al-râsikhûn fî al-‘ilm” yang diterangkan dalam hadis sebagai:

مَنْ بَرَّتْ يَمِيْنُهُ وَصَدَقَ لِسَانُهُ وَاسْتَقَامَ قَلْبُهُ وَمَنْ أَعَفَّ بَطْنُهُ وَفَرْجُهُ فَذَلِكَ مِنَ الرَّاسِخِيْنَ فِي اْلعِلْمِ [14]

“Orang yang benar sumpahnya, jujur ungkapannya, teguh pendiriannya, dan yang memelihara perut dan kehormatannya.”



Dalam konteks hadis ini, kalangan Syiah berpandangan bahwa makna-makna batin al-Qur’ân hanya dapat disingkap oleh Nabi saw., dan dilanjutkan oleh para imam ahl al-bayt yang ma‘shûm dengan menggunakan metode takwil. Sedangkan kalangan Sufi menganggap bahwa hanya orang yang telah terbuka hijab melalui pengetahuan yang dilimpahkan oleh Allah SWT. ke dalam dada mereka, lebih tepatnya kaum Sufi-lah yang pantas menakwilkan al-Qur’ân.



Di sini terlihat perbedaan mencolok antara Syiah dan Sufi. Kalangan Syiah mematok kriteria yang dianggap al-râsikhûn fî al-‘ilm adalah dari kalangan ahl al-bayt yang ma‘shûm. Pandangan demikian menafikan kemungkinan penakwilan dari orang yang tersebut karakternya dalam hadis di atas dari kalangan selain kaum ahl al-bayt yang ma‘shûm. Berbeda dengan kaum Sufi yang tidak membatasi pada golongan tertentu, melainkan terpenuhinya karakter yang disebutkan dalam hadis tersebut.



Kriteria Ayat yang Ditakwilkan

Secara umum, terdapat kriteria dalam penerimaan tafsir Sufi yang berbentuk takwil ini. Pertama, makna yang dipilih dalam penakwilan tidak bertentangan dengan pengertian yang berlaku dalam bahasa Arab; Kedua, makna tersebut didukung oleh dalil berupa nash atau makna lahir pada tempat lain; Ketiga, penakwilan mengakui makna ayat atau hadis secara lahiriah; Keempat, makna takwil yang diberikan tidak menyimpang dari ketentuan syariat atau bertentangan dengan logika; Kelima, takwil yang diungkapkan tidak dimaksudkan untuk mendukung teori atau paham tertentu.[15]



Di samping itu, ayat yang dapat ditakwilkan hanya ayat yang mubham al-dilâlah, yang pengertiannya samar atau tidak jelas. Ayat seperti ini sering disebut ayat mutasyâbihât yang dapat mencakup keimanan, ibadah, akhlak, ataupun selainnya. Ibn Taymiyah (w. 728 H) dan Ibn al-Jawzî (w. 751 H) tidak menakwilkan ayat-ayat yang terkait dengan akidah karena dianggap sebagai tonggak ajaran Islam dan sangat sensitif.[16]



Sebagai ilustrasi, kalangan Sunni memahami bahwa ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah seperti yang menyebut tangan, wajah, mata dan sebagainya tidak perlu ditakwilkan dengan kekuasaan, keridhaan, ataupun pengetahuan Allah SWT., meskipun mereka menegaskan tidak bolehnya memahami ayat-ayat seperti itu secara harfiah. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan tentang kata istiwâ’ pada ayat Q.S. Thâha [20]: 5. Oleh Imam Mâlik, kata istawâ’ tersebut dimaknai sebagai “sesuatu yang tidak dikenal dan bentuknya tidak dapat dinalar, tetapi wajib diyakini sehingga mempertanyakannya adalah bidah”.[17] Namun, ulama Sunni, jika tidak memberi takwil pada ayat tertentu, mereka tetap menolak antropomorfisme, dengan menyatakan bahwa kendati disebutkan bahwa Allah SWT. mempunyai tangan, wajah, mata, telinga, dan selainnya, tetapi semua itu tidaklah sama dengan yang ada pada manusia, dan keberadaannya adalah tanpa cara (bilâ kayf).



Kasus serupa dapat dilihat pada potongan huruf awal di permulaan dua puluh sembilan surah al-Qur’ân (al-hurûf al-muqaththa‘ât). Huruf tersebut terdiri dari empat belas huruf yang merupakan seperdua dari huruf-huruf hijaiah. Keempat belas huruf tersebut dapat dirangkai menjadi نص كريم قاطع له سر (teks mulia yang bersifat pasti dan memiliki rahasia). Ada yang menakwilkan dan ada juga yang tidak menakwilkannya. Salah satu contoh fawâtih al-suwar adalah permulaan Q.S. Maryam [19]: 1: كهيعص. Al-Qummî menakwilnya sebagai himpunan beberapa nama Allah SWT., yaitu al-Kâfî, al-Hâdî, al-‘Âlim, al-Shâdiq.[1]

[1]Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ibrâhîm al-Qummî, Tafsîr al-Qummî, (Beirut: Dâr al-Surûr, 1991), cet. I, juz II, h. 47.

[1]Lihat: Muhammad Sâlim Abû ‘Âshî, Maqâlatâni fî al-Ta’wîl: Ma‘âlim fî al-Manhaj wa Rashd li al-Inhirâf, (Kairo: Dâr al-Bashâ’ir, 2003), cet. I, h. 13.

[2]Muhammad ibn ‘Abdullâh al-Zarkasyî, al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), Juz II, h. 164.

[3]Muhammad Hâdî Ma‘rifah, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fi Tsawbah al-Qasyîb, (t.tp.: al-Jâmi‘ah al-Ridhawiyyah li al-‘Ulûm al-Islâmiyyah, t.th.), juz I, h. 22-23.

[4]Abû ‘Âshî, Maqâlatâni fî al-Ta’wîl, h. 38.

[5]al-Râghib al-Ishfahânî, Mufradât Gharîb al-Qur’ân, (Mesir: al-Halabî, 1961), h. 31.

[6]Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz II. H. 173.

[7]Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz I, h. 13.

[8]Muhammad al-Syawkânî, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl, (Mekkah: al-Maktabah al-Tijâriyah, 1993), h. 300.

[9]al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, kitab Tafsîr al-Qur’ân, bab Minhu Âyât Muhkamât, Hadis No. 4182; Muslim, Shahîh Muslim, kitab al-‘Ilm, hadis No. 4817.

[10]Ismail K. Poonawala, “Ismâ‘lî Ta’wîl of the Qur’ân” dalam Approach to the History of the Interpretation of the Qur’ân (ed.) Andrew Rippin, (Oxford: Clarendon Press, 1988), h. 199.

[11]Ismail K. Poonawala, “Ismâ‘lî Ta’wîl of the Qur’ân,” h. 200.

[12]Muhammad Hâdî Ma‘rifah, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî Tsawbah al-Qasyîb, juz I, h. 23.

[13]Muhammad Hâdî Ma‘rifah, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî Tsawbah al-Qasyîb, juz I, h. 23.

[14]Hadis ini disumberkan dari sahabat Abû al-Dardâ’. Lihat: Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Beirut: Maktabah al-Nûr al-‘Ilmiyyah, t.th.), juz I, h. 328.

[15]al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 263.

[16]Yûsuf al-Qardhâwî, al-Marja‘iyah al-‘Ulyâ fî al-Islâm li al-Qur’ân wa al-Sunnah, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1996), h. 310.

[17]al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz II, h. 6.

[18]Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ibrâhîm al-Qummî, Tafsîr al-Qummî, (Beirut: Dâr al-Surûr, 1991), cet. I, juz II, h. 47.

Sumber :
Disunting dari Artikel Utama dalam Jurnal Studi al-Qur’ân Vol. II, No. 1, 2007, yang ditulis Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.

0 comments:

Post a Comment